Apakah Tantrum Bisa Dikontrol?

Tantrum sering dianggap hanya milik anak kecil. Tapi kenyataannya, banyak orang dewasa masih mengalaminya—bedanya, bentuknya tidak selalu berupa teriakan atau tangisan, melainkan diam berkepanjangan, ngambek, atau bahkan memanipulasi suasana agar orang lain merasa bersalah. Jadi pertanyaannya bukan apakah tantrum itu normal, tetapi bisakah tantrum dikontrol? Jawaban sederhananya adalah: bisa — tapi tidak dengan menekan emosi. 🧠 Tantrum: Saat Otak Emosional Mengambil Alih Secara ilmiah, tantrum terjadi ketika amygdala, bagian otak yang mengatur emosi dasar seperti takut, marah, dan stres, mengambil alih kendali dari prefrontal cortex, bagian otak yang berfungsi untuk berpikir rasional dan membuat keputusan logis. Pada momen itu, sistem saraf berada dalam mode “fight, flight, or freeze.” Tubuh merasa terancam, walau ancamannya bisa jadi hanya berupa kata-kata, penolakan, atau rasa tidak dimengerti. Daniel Goleman (1995) dalam Emotional Intelligence menyebut kondisi ini sebagai amygdala hijack — saat emosi mengambil alih logika. Jadi, ketika seseorang marah besar atau menangis tak terkendali, itu bukan karena lemah atau “drama”, tetapi karena sistem otak sedang kehilangan keseimbangan. Yang Bisa Dikontrol: Cara Merespons, Bukan Ledakannya Emosi datang secara spontan dan tidak bisa dicegah. Namun, cara kita merespons emosi bisa dilatih dan dikontrol. Inilah yang disebut dengan self-regulation — kemampuan mengenali, menerima, dan menenangkan diri sebelum bereaksi. David J. Siegel (2012) dalam The Whole-Brain Child menjelaskan bahwa menamai emosi (“name it to tame it”) membantu otak kiri yang logis terhubung kembali dengan otak kanan yang emosional, sehingga amygdala mereda dan kita lebih tenang. 💬 Tantrum Dewasa: Bentuk yang Lebih Halus tapi Tak Kalah Intens Banyak orang dewasa tidak berteriak, tapi tetap “tantrum.” Bentuknya bisa berupa: Silent treatment — menarik diri tanpa komunikasi. Passive-aggressive — menyindir atau menunda tindakan dengan sengaja. Emotional shutdown — mati rasa, menolak bicara atau merasa. Ini adalah mekanisme pertahanan diri saat seseorang merasa tidak aman, tidak didengar, atau terlalu lelah. Menyadari pola ini bukan berarti menyalahkan diri, tapi belajar berkata jujur pada diri sendiri: > “Aku bukan marah karena orang lain, tapi karena aku merasa tidak berdaya.” Kesadaran inilah titik awal dari pengendalian tantrum. 🕊️ Tujuan Akhir: Tenang Tanpa Menekan Mengontrol tantrum bukan berarti tidak pernah marah lagi, melainkan mampu menghadirkan kesadaran di tengah emosi. Menjadi dewasa bukan berarti tak punya ledakan batin, tapi tahu kapan harus berhenti agar tidak melukai siapa pun — termasuk diri sendiri. Ketenangan sejati bukan berasal dari kemampuan menahan emosi, melainkan dari kemampuan memahami pesan yang dibawa oleh emosi itu sendiri. 📚 Referensi Ilmiah: Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. Bantam Books. Siegel, D. J. (2012). The Whole-Brain Child: 12 Revolutionary Strategies to Nurture Your Child’s Developing Mind. Delacorte Press. LeDoux, J. (1996). The Emotional Brain: The Mysterious Underpinnings of Emotional Life. Simon & Schuster. Porges, S. W. (2011). The Polyvagal Theory: Neurophysiological Foundations of Emotions, Attachment, Communication, and Self-Regulation. W. W. Norton & Company.