Dalam dunia psikologi dan coaching, istilah “NPD” atau Narcissistic Personality Disorder sering muncul ketika seseorang membahas hubungan yang melelahkan secara emosional. Banyak orang yang merasa menjadi korban perilaku narsistik akhirnya bertanya-tanya: Apakah orang dengan NPD benar-benar tidak punya empati?
Pertanyaan ini menarik, karena seringkali di masyarakat muncul pandangan ekstrem — bahwa individu dengan NPD sepenuhnya dingin, tidak berperasaan, dan tidak peduli sama sekali terhadap orang lain. Padahal, jika kita melihat dari sudut pandang ilmiah dan kesadaran manusia, jawabannya jauh lebih kompleks.
Empati Bukan Hitam Putih
Dalam coaching, kita memahami bahwa empati bukan sekadar perasaan belas kasihan. Empati terdiri dari dua dimensi utama:
1. Empati kognitif — kemampuan memahami apa yang orang lain rasakan.
2. Empati afektif — kemampuan untuk benar-benar merasakan emosi orang lain di dalam diri sendiri.
Individu dengan NPD biasanya masih memiliki empati kognitif, tetapi lemah dalam empati afektif. Mereka dapat mengerti bahwa seseorang sedang sedih, kecewa, atau marah, tetapi tidak benar-benar merasakan getaran emosional itu dalam hati mereka. Dengan kata lain, mereka tahu, tetapi tidak tergerak.
Bukti Ilmiah tentang Empati pada NPD
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5, American Psychiatric Association, 2013), salah satu ciri utama NPD adalah “kurangnya empati”, yang berarti kesulitan mengenali atau mengidentifikasi kebutuhan dan perasaan orang lain. Namun, “kurang empati” bukan berarti “tanpa empati sama sekali”.
Penelitian oleh Ritter et al. (2011) dalam Psychiatry Research menemukan bahwa individu dengan NPD menunjukkan empati kognitif yang relatif utuh, tetapi mengalami penurunan signifikan dalam empati afektif. Artinya, mereka masih bisa membaca emosi orang lain, tetapi jarang mengalaminya secara emosional.
Penelitian lain oleh Marissen et al. (2012) di jurnal Personality and Individual Differences menegaskan bahwa empati pada individu dengan NPD bersifat selektif dan kontekstual. Mereka mampu menampilkan empati ketika hal itu mendukung citra diri, status sosial, atau hubungan yang memberi keuntungan pribadi. Namun, saat empati tidak menguntungkan, mereka bisa tampak sangat dingin, bahkan kejam.
Perspektif Coaching: Empati Sebagai Cermin Kesadaran
Dari sudut pandang coaching, kita melihat empati bukan hanya sebagai sifat bawaan, melainkan sebagai cerminan kesadaran diri. Empati tumbuh ketika seseorang mampu mengenali luka, rasa takut, dan kebutuhan dalam dirinya sendiri.
Individu dengan NPD sering kali memiliki luka batin mendalam yang tidak disadari — terutama rasa malu, tidak cukup berharga, atau takut kehilangan kendali. Karena itu, mereka membangun lapisan pertahanan berupa superioritas, kontrol, dan keinginan untuk dikagumi. Lapisan ini membuat mereka tampak tidak berempati, padahal di baliknya ada mekanisme bertahan hidup yang sangat kuat.
Dalam konteks ini, kehilangan empati bukan hanya masalah moral atau karakter, melainkan tanda bahwa seseorang terputus dari pengalaman emosional diri sendiri. Mereka begitu sibuk melindungi ego hingga tidak punya ruang untuk merasakan emosi orang lain.
Apakah Empati Bisa Dilatih pada NPD?
Secara umum, individu dengan NPD bisa belajar menumbuhkan kesadaran empatik, tetapi prosesnya sulit dan membutuhkan komitmen tinggi. Terapi psikodinamik, terapi berbasis empati, serta pendekatan coaching yang menekankan kesadaran diri dan tanggung jawab emosional dapat membantu mereka perlahan menyadari dampak perilakunya terhadap orang lain.
Namun, kemajuan hanya mungkin terjadi ketika individu tersebut benar-benar mau berubah, bukan karena tekanan atau tuntutan sosial. Coaching di tahap ini tidak berfokus pada “mengubah kepribadian”, tetapi pada meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab energi diri — membantu seseorang melihat bahwa empati bukan kelemahan, melainkan kekuatan spiritual untuk terhubung lebih dalam dengan kehidupan.
Refleksi untuk Kita Semua
Bagi mereka yang pernah terluka oleh orang dengan sifat narsistik, memahami bahwa empati mereka tidak sepenuhnya hilang bisa membantu proses penyembuhan. Ini bukan untuk membenarkan perilaku menyakitkan, melainkan agar kita berhenti memandang dunia secara hitam-putih: antara “yang punya hati” dan “yang tidak”.
Setiap orang berada di spektrum kesadaran yang berbeda. Ada yang masih hidup dalam mode pertahanan, ada yang sudah mulai membuka hati. Dalam coaching, kita memandang setiap individu sebagai jiwa yang sedang belajar mencintai dengan cara yang lebih dewasa.
Empati sejati tumbuh dari keberanian untuk hadir — untuk mendengarkan tanpa menghakimi, dan untuk memahami tanpa harus menyelamatkan. Dan mungkin, justru di situlah letak tugas kita: bukan untuk mengubah orang tanpa empati, tetapi untuk terus menyalakan empati di dalam diri sendiri, agar dunia tidak kehilangan cahayanya.
Referensi:
American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (5th ed.). 2013.
Ritter, K., et al. (2011). Lack of empathy in patients with narcissistic personality disorder. Psychiatry Research, 187(1–2), 241–247.
Marissen, M. A. E., Deen, M. L., & Franken, I. H. A. (2012). Disturbed emotion recognition in patients with narcissistic personality disorder. Personality and Individual Differences, 53(3), 246–251.
Campbell, W. K., & Miller, J. D. (2011). The Handbook of Narcissism and Narcissistic Personality Disorder. Wiley.